Monday, December 13, 2010

CERPEN : KARENA AKU MENUNGGUMU 2 by chozza angga

Deru tangis tak mampu hapuskan sakit dihati, teriakanpun tak sanggup lenyapkan penat dijiwa, bahkan harumnya bunga takan bisa obati luka yang ada. Kini hanya penyesalan tak berarti merasuk ke dalam dada, dan hanya perih yang hantui setiap malamnya. Dengan getir nadi yang semakin kencang terasa di lengan, menahan pedih ketika menyetir. Aku menatap tajam pemandangan di depan mata, seakan ada kebencian di setiap bayangan yang tercipta. Entahlah. . . Mesti sekencang apa aku teriak, agar semua penat di dada lepas dan terakhiri. Oh Tuhan. . . Karma apa lagi yang harus kuterima atas semua perbuatanku, sungguh aku menyesali semuanya.**2 bulan telah berlalu. Mulai ku tutup semua masa lalu, dan ku buka lembaran baru. Walau kadang masih mengganggu, tapi ku sadar bahwa sanya,
sesuatu yang pernah di alami, tak mungkin mudah terlupakan, bukan berarti harus selalu diingat, namun hanya mampu untuk dikenang. Ya kenang. . . Hanya itu yg sanggup ku lakukan. **ku pandangi suasana didepan rumahku malam itu, ku tatap bintang dengan penuh harapan, harapan tuk selalu diam tanpa harus melukai, namun tetap saja hati ini masih perih. Meski kadang ku coba ku lenyapkan, tetap saja luka tak mampu terobati dengan jarak. Karena bayangannya masih sering menghantui, ngiang suaranya masih terdengar jelas ditelingaku. Ku tatap handphone berharap dia masih mengingatku, seperti aku yang tak mampu melupakannya. Berbulan-bulan aku hanya menunggu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Padahal aku sadar, kini dia tak lagi sendiri, mungkin hidupnya telah bahagia tanpaku. Kadang dalam kesempatan tertentu, ku deklamasi kan puisi cinta tanpanya, ya. . . Puisi-puisi yang pernah dia ciptakan untukku. Kusimpan rapih lembaran puisi itu dalam box kecil pemberiannya, karena dia tau, aku suka mengkoleksi puisi. Tepat tanggal 4 desember 2009, malam itu, seperti biasa aku duduk di teras, dengan selembar kertas dan bolpoint. Tapi aku masih bingung, entah apa yang akan ku tulis, pikiranku masih kacau sejak pernikahan itu. Tak satu baitpun puisi yang ku tulis. Tapi kali ini, aku benar-benar ingin menyelesaikan satu bait saja puisi, agar aku yakin tanpanya hidupku tak berhenti disini. Hasilnya tetap saja nihil. Akhirnya aku beranjak dari kursi, bersiap masuk dalam rumah. Hp ku berbunyi, pertanda panggilan masuk, ku angkat dengan mata sayup, ngantuk sekali malam itu. Ku dengar salam dari seorang wanita."Assalamualaikum. . .". "walaikumsalam, dengan siapa ya ?". "Maaf mengganggu malam-malam, Aku shinta istri dari Rhemi". Hati ku berdegup kencang, dag dig dug yang ku rasakan, teringat semua rasa sakit itu, ya. . . Hancurnya semua harapanku, seperti puzle yang hancur ketika jatuh, dan banyak sekali bagian puzle yang hilang. "owh. . . Shinta, ada apa ya ?". "bisakah kita bertemu ?". "bertemu ? Untuk apa ?". Banyak hal yang ingin ku sampaikan padamu, tapi tak bisa lewat pembicaraan sekarang". "baiklah jika menurutmu itu penting". "kalau begitu, aku tunggu besok jam 2 siang di cafe indah dekat rumahmu yang dulu". "besok pagi aku kan ke bandara untuk pulang". "terimakasih ya. . . Mau meluangkan waktunya untukku, wassalammualaikum". "walaikumsalam. . . ". Dengan rasa penasaran, banyak pertanyaan yang terlantun dipikiranku. Tapi ku coba hiraukannya, akhirnya ku pejamkan mata berharap tak tercipta mimpi buruk malam ini. Amien. . . .**tepat jam 8 pagi, aku sudah sampai dibandara, sebentar lagi pesawatpun akan lepas landas. Dalam perjalanan, aku masih tak mengerti, Apa maksud pertemuan ini ?, entahlah. . . . 2 jam dalam perjalanan, akhirnya sampai. Kini tinggal melanjutkan perjalanan menuju rumah, yang telah ku tinggalkan selama hampir setahun. Ku kira dengan meninggalkan semua ini, aku mampu meninggalkan semua masa lalu yang pernah merenggut senyuman dan kebahagianku. Tapi nyatanya, hari ini. . . Aku kan bertemu dengan sosok yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Oh Tuhan. . . Rahasia apa lagi ini ?. Sesampainya dirumah, ku pandangi dengan seksama pemandangan rumahku. Masih sama, seperti sebelum ku tinggalkan. Masih terasa udara segarnya, masih terdengar suara kincir angin yang mampu lenyapkan sunyi dalam kesendirianku. Yang membuatku rindu senyumannya, yang selalu menghiasi sepi di rumahku. Perih sekali ku mengingatnya. Langkah demi langkah, ku pijakkan kaki di pondok ini, seiring dengan tetesan air mata yang tak sanggup ku bendung. Ku buka kamarku, masih terpajang foto-foto saat masih bersamanya, tak sanggup ku pandangi semua itu. Akhirnya ku copot satu persatu pajangan itu, ku masukkan dalam kardus, dan ku simpan dalam gudang dibelakang rumahku. Tapi tetap saja, bayang wajahnya masih terlukis jelas dalam jiwa. Ku coba enyahkan, namun sia-sia. Sudahlah. . . . Tepat jam 2 kurang 10 menit, ku berangkat menuju cafe. Akhirnya sampai juga. Ku lihat sosok wanita tengah hamil besar telah duduk menungguku dimeja no 4, tepat dekat jendela. "hai. . . ". Sapanya padaku. "silahkan duduk !". "terimakasih. . .". "sebelumnya aku berterimakasih, karena kamu bersedia meluangkan waktu untuk datang ke tempat ini". Aku hanya diam dan tersenyum. "by the way, bagaimana kabarmu ?". "alhamdulillah seperti yang kamu lihat, sehat. Kamu sendiri ?". Walau sebenernya terpuruk. "sama. . . EMmmm. . . Aku bingung harus memulai dari mana, yang pasti aku cuma minta satu hal, (dengan menggenggam erat ke dua tanganku, dengan raut wajah penuh dengan harapan) aku mohon. . Temuilah Rhemie. . . Dan katakan, kalau kamu membencinya dan kamu telah melupakan kenangan bersamanya, demi janin yang ku kandung saat ini, aku tak peduli sebesar apa kebenciannya padaku selama ini, aku hanya tak ingin, nanti anak kami tau, bahwa ayahnya mencintai wanita lain, ketika dia dewasa nanti. Kamu tau, dia sering memanggilku dengan namamu, bahkan foto kalian berdua, masih terpasang dikamar kami. Sering sekali dia merenung menatap fotomu. Sakit rasanya. . . Apa lagi, dalam mimpinya saja, sering mengigau memanggil namamu. Semakin perih hati ini. Ketika aku tau, banyak lembaran puisi rindu yang tercipta untuk kamu di meja kerjanya. Batin ini sesak Dev, walaupun aku tau, dulu aku tak setuju dengan perjodohan kami, hanya saja waktu itu, aku kagum dengan kesetiaannya padamu, yang membuatku ingin memiliki kesetiaan yang sama darinya. Dan itu yang membuatku bertahan sampai hari ini. Ku mohon. . .". "tapi. . . . ." jawabku dengan gugup. "pikirkanlah lagi. Jika sanggup. . . Temuilah dia, aku pulang ya Dev". Bergegas pergi meninggalkan cafe. Dan akupun pulang. **jujur. . . Aku tak sanggup. Berbohong pada diri sendiri itu menyakitkan, bahkan lebih mengerikan dari penyakit yang aku derita sampai detik ini. Tapi. . . Apa aku setega itu, menyakiti insan yang nantinya akan jadi buah kebersamaan mereka. Namun. . . Jika aku harus berbohong, apa dia akan percaya ?. Sedangkan rasa kita sama. Sama-sama merindu. . . Berat sekali pilihan ini. Aku tak sanggup memilihnya, karena semua pilihan pasti ada yang akan terluka. Huft. . . Letih aku memikirkannya. Aku sadar, jika berbohong hanya aku yang terluka, mungkin Rhemi juga. Tapi jika tidak, semua akan terluka. Tapi bagaimana dengan shinta ? Pasti dia lebih terluka, mengetahui suaminya mencintai wanita lain.

No comments:

Post a Comment